Kontekstualisasi Rambu Solo'


Baca Juga Artikel terkait Disini


Related image


                      MAKALAH KONTEKSTUALISASI RAMBU SOLO’ TANA TORAJA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Frerianus Erwin
NIRM:
1501213
Dosen Pengampuh:
Pdt. Hendrik S. Paattang, M.Th.

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI KIBAID
MAKALE
2017/2018


Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Kebudayaan merupakan bagian yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat. Tidak ada kehidupan masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan sebagai bagian dari ciri khas mereka. Dari hal itulah mereka dikenal sebagai suatu kelompok  masyarakat yang berbeda dengan kelompok, suku, ataupun bangsa yang lain.
Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Darmansyah bahwa “ Masyarakat dan Kebudayaan ibarat dua sisi mata uang, satu sama lain tidak dapat dipisahkan.”[1]
Klukhohn mendefenisikan kebudayaan, sebagaimana dikutip oleh David J.Hesselgrave dalam bukunya, Communicating Christ Cross- Cullturally: Mengkomunikasikan Kristus Secara Lintas Budaya: Pendahuluan ke Komunikasi Missionari, bahwa “kebudayaan adalah cara berpikir, merasa, meyakini.”[2]
Oleh karena itu, secara subjektif, setiap individu tentunya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Namun, jika individu-individu yang berbeda itu terikat dalam sebuah pola budaya yang sama, mereka cenderung menjadi sama. Bahkan, budaya itulah yang akan membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lain yang berkumpul di temapt lain.
Sebagai kelompok ataupun suku yang berbeda dengan yang lainnya, suku Toraja juga memiliki budaya yang menjadikannya unik di tengah-tengah kemajemukan suku-suku bangsa di Indonesia. Salah satu budaya yang sangat terkenal dari Tana Toraja, bahkan dikenal sampai mancanegara, adalah Rambu Solo’  atau upacara pemakaman.
Upacara itu biasanya dilaksanakan dengan memerhatikan strata social orang yang meninggal.
Dalam kebudayaan masyarakat Toraja dikenal empat macam tingkat atau strata social: (1) Tana’ Bulaan atau golongan bangsawan, (2) Tana’ Bassi atau golongan bangsawan menengah, (3) Tana’ Karurung atau rakyat biasa/ rakyat merdeka, dan (4) Tana’ Kua-kua atau golongan hamba.[3]
 Mereka yang termasuk dalam kelompok orang berbeda atau kalangan bangsawan biasanya melangsungkan upacara itu dengan cara yang mewah. Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa mereka memang berasal dari kelompok masyarakat kalangan atas. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang tidak punya atau berasal dari kelompok hamba/ rakyat biasa tidak dapat melakuakn uapacara itu sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok bangsawan.  Upacara Rambu Solo’ merupakan sebuah upacara yang sarat dengan nilai-nilai adat-istiadat (aluk) yang mengikat masyarakat Toraja. Bahkan, kepercayaan bahwa “Aluk diciptakan di langit. Oleh karena itu, aluk itu ilahi pula dan seluruh makhluk tunduk kepada aluk.”[4]
Namun, kebudayaan suatu daerah kini sudah mulai hilang secara perlahan bukan hanya karena kemajuan di bidang iptek tetapi juga dari sudut pandang agama-agama lain yang bermunculan dengan doktrin-doktrin yang berlawanan dengan pengajaran budaya-budaya daerah itu. Sebagai salah satu agama yang dimaksud adalah agama Kristen.

Bab II
 Elemen dan Nilai Budaya
Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai pengertian budaya dan Rambu Solo’. Dalam bab ini penulis akan membahas tentang Elemen serta Nilai Budaya yang terkandung di dalam Upacara Rambu Solo’.
Elemen
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Elemen adalah bagian atau unsur yang penting/ yang dibutuhkan.[5]  Oleh karena itu penulis mengambil beberapa elemen yang penulis dapatkan dari hasil penelitian lapangan dan wawancara, antara lain:
Anginan
Anginan berbeda dengan Lakkean tetapi satu fungsi yaitu tempat meletakkan mayat setelah dipindahkan dari rumah duka. Anginan dipasang dengan letak tidak terpisah dari rumah duka, sedangkan Lakkean dibuat terpisah dari rumah. Jumlah kerbau yang dipotong apabila Rambu Solo’ dengan menggunakan anginan adalah 12 ekor kerbau, sedangkan apabila menggunakan Lakkean 24 kerbau.[6]

Kaseda/ Kain Merah
Kaseda/ kain merah bukan dipasang sebagai dekorasi umum atau hanya sebagai penghias semata, tetapi bagi masyarakat Toraja khususnya pada acara Rambu Solo’  mempunyai makna yang sangat penting.[7]
Kaseda/ kain merah menggambarakan bahwa itu adalah lambang kekayaan. Umumnya Kaseda baru boleh digunakan pada acara Rambu Solo’ tingkat Ma’pellima (Upacara lima malam dengan menyembelih kerbau sekurang-kurangnya lima ekor) karena tingat upacara ini hanya boleh dilaksanakan oleh golongan menengah ke atas.
Gayang
Gayang ialah keris yang hulu dan sarungnya bersalut emas. Gayang seirng kita lihat dalam acara Rambu Solo’ dipajang di depan Lakkean atau Anginan dan juga ditempat menerima tamu atau tempat masuknya rombongan. Gayang tidak sembarang dipasang baik di acara Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’. Apabila acara Rambu Tuka’ (Rampanan Kapa’) gayang dipasang menghadap Timur  dengan jumlah harus ganjil. Kemudian, pemasangan gayang pada acara Rambu Solo’ dipasang menghadap kearah barat dan harus dengan jumlah yang genap.[8]  Gayang adalah lambang anak laki-laki gagah yang mulia.
Kandaure
Kandaure sering juga kita temui dalam acara Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’. Kandaure merupakan Lambang dari martabat/ harga diri dari seseorang.kandaure adalah perhiasan yang dibuat dari manic-manik warna-warni yang dianyam berukir seperti corong dan berumabi-umbai menjadi perhiasan wanita. Juga merupakan perhiasan yang sangat berharga bagi masyarakat Toraja.
Kandaure yaitu sejenis perhiasan yang terbuat dari macam-macam manik.Manik-manik tersebut diuntai menurut daya cipta tertentu sehingga menyerupai alat yang menyerupai corong disertai gambar dan ukiran-ukiran.Pinggirnya berumbai panjang dengan aneka ragam manik-manik yang teruntai rapi pada tali.Kandaure biasa dipakai wanita pada pesta keramaian,atau perhiasa pada pesta orang mati.Benda ini dipercayai mendatangkan berkat bagi pemiliknya dan juga bisa mendatangkan malapetaka
Gayang dan Kandaure dipergunakan sebagai hiasan yang bermakna pada upacara aluk Rambu Solo’ tingkat yang lebih tinggi sebagai lambang kemuliaan dan lambang dari dunia yang didiami oleh dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jadi kalau ada hiasan gayang harus ada pula kandaure sebagai imbangannya dan sebaliknya.
Lattang Karampoan
Berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu yang datang sebelum para tamu itu diantar ke barung atau pondok.
Nilai Budaya Rambu Solo’
Arti nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah harga, angka kepandaian, dan lain-lain. [9]
Nilai menurut para ahli sebagai berikut: [10]
·         Robert  MZ Lawang menyatakan bahwa nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, berharga, dan dapat memengaruhi perilaku social dari orang-orang yang bernilai tersebut
·         Woods menyatakan bahwa nilai merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
·         Hendropuspito menyatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang dihargai masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan manusia.
·         Sutisna menyatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang baik, yang diinginkan, dicita-citakan dan dianggap penting oleh warga masyarakat.
Dengan demikian, maka nilai-nilai berarti segala sesuatu yang berharga dan dianggap penting yang mempengaruhi perilaku social dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam Upacara Rambu Solo’ yang dilaksanakan memiliki nilai-nilai tersendiri yang terkandung dan yang menjadi lamdasan orang-orang untuk tetap melaksanakan upacara Rambu Solo’.  Nilai-nilai tersebut antara lain:
Nilai Pemujaan
Penganut Aluk Todolo yang sekarang dengan nama Alukta yang merupakan salah satu aliran dari agama Hindu, menilai semua upacara pada kegiatan Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ adalah ritual yang merupakan pemujaan atau penyembahan kepada yang maha kuasa Puang Matua (Allah) dan dewata (setan).[11] Pemujaan dibuktikan dengan seluruh pengorbanan, utamanya pemotongan babi dan kerbau yang dipotong selama berlangsungnya kegaiatan Rambu Solo’. Pelaksanaan ritual Rambu Solo’ juga sebagai bagian dari penghormatan kepada leluhur yang telah beralih menjadi ilah. Pengorbanan tersebut di atas, juga berfungsi sebgaia eskatologis di dalam kehidupan orang Toraja.
Nilai kekeluargaan
Dalam Aluk Rambu Solo’ hugungan kekeluargaan dipertahankan, diperbaharui, dan dipulihkan sehingga hubungan kekeluargaan tidak terputus.  Kekeluargaan yang dimaksud di sini adalah kekeluargaan dalam arti yangluas berdasrkan keturunan, keluarga semenda, regional dan rekan (siala siulu’), serta ikatan keluarga dengan para leluhur. Justru ikatan kekeluargaan dengan para leluhur inilah Aluk Rambu Solo’ harus dilaksanakan di rumah tongkonan yang telah dibangun dan dilembagakan oleh para leluhur.[12]
Dengan demikian, maka nilai kekeluargaan dari sebuah rumah tongkonan yang melakukan ritual Rambu Solo’ mendorong setiap anggota keluarga untuk mengambil bagian dalam upacara Rambu Solo’ melalui pengorbanan babi dan kerbau, karena dengan hal demikianlah yang menyatakan dan mempererat rasa kekeluargaan dari suatu tongkonan.
Nilai Persekutuan
Nilai persekutuan (ambakan datu) yang berarti kegotong royongan, adalah suatu pranata social, suatu kesatuan regional dalam hubungan kepemimpinan struktur tongkonan. Ini adalah kesatuan, berpikir, kesatuan bertindak, berbakti, kesatuan emosional dan kesatuan kerja. Terselenggaranya aluk Rambu Solo’ dengan baik di suatu daerah ambakan datu yang bersangkutan yang akan disebut-sebut orang dan bukan menyebut keluarga yang bersangkutan.[13]
Dengan demikian, maka niloai persekutuan dalam rangka tiual Rambu Solo’ adalh menghadiri langsung upacara Rambu Solo’ dan tidka boleh diwakilkan kepada siapapun juga, karena hal ini meurpakan bukti bahwa yang bersangkutan tetap teguh memelihara persekutuan  dalam daerah itu.
Nilai Sosial
Leluhur Toraja mengajarkan bahwa harta kekayaan itu berfungsi social. Manusa sebagai mahkluk social pada dasranya adalah satu keluarga sehingga kekayaan itu adalah milik bersama melalui kerja gotong royong. Dengan demikian bergotong royong bukan berarti bekerja sia-sia untuk orang lain, Karena hasilnya dinikmati bersama. Dalam masyarakat Toraja sering terlihat di mana orang kaya senantiasa memberi makan kepada orang lain, baik melalui upah kerja ataupun dengan memberi kesempatan kerja, maupun melalui pesta-pesta.
Dengan demikian, maka nilai social para ritual Rambu Solo’ adalah bahwa membagi-bagi harta kekayaan seperti makanan, minuman, daging babi, daging kerbau dan lainnya secara gratis, tentunya berfungsi sebagai bagian dari nilai social.
Nilai Gotong Royong
Manusia sebagai mahluk social tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Di dalam system makromos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai satu unsure kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. Dengan demikian, dalam segala aspek kehidupan manusia pada hakikatnya tergantung pada sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa, sama tinggi sama rendah. Gotong royong sebagai system pengerahan tenaga pada umumnya dilakukan pedesaan, baik dalam hal bercocok tanam maupun kegiatan lainnya seperti membangun rumah, dan lain-lainnya.
Dengan demikian, maka nilai gotong royong dalam ritual Rambu Solo’ adalah kerja bakti tanpa gaji dalam kebersamaan membangun pondok untuk mempersiapkan tempat untuk upacar Rambu Solo’

Bab III
 Upaya Kontekstualisasi Injil Yang Relevan
Pengertian Injil
Injil ialah berita kesuksesan tentang segala perbuatan Allah di dalam Yesus Kristus. Perbuatan Allah yang besar itu adalah wujud kasih-Nya ke dalam dunia ini untuk menyelamatkan umat manusia. injil itu membaharui manusia dan masyarakatnya, membaharui Aluk (Agama), adat dan kebudayaan serta seluruh lingkungannya (dunia). [14]
Jadi Injil itu mebaharui semuanya untuk memuji Tuhan dan didalamnya manusia beroleh sejahtera. Injil itu dinamis senantiasa mengerjakan pembaharuan hidup.
Tekanan utama yang akan gumuli dalam tulisan ini ialah “ bagaimana seharusnya setiap orang Krsiten berteologi dalam konteks/ lingkungan hidupnya secara utuh.” Yang dipentingkan disini ialah bagaimana seharusnya Injil (yang utuh itu) ditabrukan sehingga membawa keseimbangan yang tampak dari refleksi teologi si penermia Injil.
Eka Darmaputra dalam buku karangan Yakob Tomatala (Teologi Kontekstulisasi) menegaskan bahwa,:
 “Teologi Kontekstualisasi adalah “teologi” itu sendiri. Artinya teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontekstual. Karena pada hakekatnya, teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektik, kreatif secara esensial antara “teks” dengan “konteks” dengan kehidupan yang kontekstual. Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa  teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman kristiani pada konteks, ruang, dan waktu yang tertentu.[15]

Hendrik Sony dalam diktat perkuliahan penginjilan mengatakan bahwa, “Penginjilan ialah usaha yang dilakukan oleh manusia untuk memperkenalkan syalom Allah yang sudah ada sejak kekal (kairos) yang dimulai dari Allah atau memperjumpakan Kristus kepada manusia yang belum mengenal-Nya yang dilakukan dengan berbagai cara agar manusia tidak binasa, mereka dikuatkan dan menjadi dewasa di dalam bimbingan Roh Kudus.”[16]

Upaya Kontekstual
Di dalam sejarah pekabaran Injil sudah kita jumpai bermacam cara pendekatan terhadap berbagai kebudayaan di mana Injil itu diberitakan. Yang harus dipahami terlebih dahulu bahwa pada hakekatnya segala sesuatu adalah milik Kristus. Kebudayaan-kebudayaan atau unsur-unsur kebudayaan makna-kristen pada hakekatnya juga miliki Kristus. Kristus dapat memakai setiap unsure kebudayan untuk maksud-Nya. Dalam pemakaian itu tentunya setiap tindakan harus bijaksana. Jelaslah bagi kita bahwa pendapat ini adalah Kristosentris. Kristus menjadi pusat segala-galanya.
Kristus adalah jalan kembali kepada Allah, dalam Alkitab Yesus menyatakan hal itu melalui perkataan-Nya “Akulah jalan, kebenaran dan hidup.”[17] Melalui proklamir itu Dia meyakinkan setiap orang yang percaya kepada-Nya bahwa hanya Dia satu-satunya jalan tidak ada yang lain yang bisa datdng kepada Bapa kalau tidak melalui Dia, karena Dialah Kristus Yesus yang menjadi inti dari pemberitaan orang-orang percaya sampai ke ujung dunia ini.
Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ tidak dilarang. Orang Toraja Kristen hidup didalmnya, tetapi ia adalah manusia yang sudah dibaharui , ia hidup sebagai ciptaan baru dengan nilai-nilai baru. Sebab itu Rambu Solo’ dan Rambu tuka’ dilaksanakannya sebagai kebudayaan manusia baru. Yang jadi masalah adalah jika Rambu Solo’ atau Rambu tuka’ itu  dilaksanakan dalam kebudayaan manusia lama.
Frank Gaynor sebagaimana dikutip dalam buku Teologi Kontemporer karangan Harvie M. Conn mengatakan, “ esensi agama lama/ primitive sebagai suaut filsafat, doktrin, ajaran atau kepercayaan yang lebih berpusat pada dunia roh daripada alam semesta yang bersifat materi yang memiliki unsur kepercayaan pada wahyu khusus di luar Alkitab. [18]
Kriteria pembaharuan kebudayaan tidak terletak pada bentuk dan caranya, tetapi pada nilai-nilai yang diungkapkannya. Theologia ethis, yang menyangkut iman dan kehidupan praktis sehari-hari dalam hubungan Allah dan manusia. Bolehkah, pesta orang mati itu bagi orang Toraja Krsiten? Tidak ada larangan, tetpai apakah yang dikehendaki Allah dalam pelaksanan Rambu Solo’? itulah yang harus menjadi isi Rambu solo’.
Di dalam konteks inilah manusia harus hidup dalam ketaatan kepada Firman Allah. Sikap orang-orang ialah memelihara dan mengembangkan nilai-nilai yang sesuai dengan kehendak Allah serta mencegah dan menolak setiap nilai-nilai yang bertentangan dnegan undang-undang  dasar Kerajaan Allah, yaitu mengasihi Allah dan sesama manusia. itulah pola dasar kebudayaan manusia.

BAB IV
KESIMPULAN
Salah satu budaya yang sangat terkenal dari Tana Toraja, bahkan dikenal sampai mancanegara, adalah Rambu Solo’  atau upacara pemakaman.
Elemen-elemen budaya yang diteliti yaitu:
      Anginan
      Kasedah/ Kain Merah
      Kandaure
      Gayang
      Lattang Karampoan
Nilai budaya Rambu Solo’:
      Nilai Pemujaan
      Nilai Kekeluargaan
      Nilai Persekutuan
      Nilai Sosial
      Nilai Gotong-Royong
Upaya Kontekstualisasi Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ tidak dilarang. Orang Toraja Kristen hidup didalmnya, tetapi ia adalah manusia yang sudah dibaharui , ia hidup sebagai ciptaan baru dengan nilai-nilai baru. Sebab itu Rambu Solo’ dan Rambu tuka’ dilaksanakannya sebagai kebudayaan manusia baru. Yang jadi masalah adalah jika Rambu Solo’ atau Rambu tuka’ itu  dilaksanakan dalam kebudayaan manusia lama.

@NirinSarosija
#NirinSarosija
@FrerianusErwin
#FrerianusErwin








[1] Darmansyah M., Ilmu Sosial Dasar (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), 59
[2] David J. Hesselgrave, Communicating Christ Cross-Culturally:Mengkomunikasikan Kristus Sedara Lintas Budaya: Pendahuluan ke Komunikasi Misionari (Malang: SAAT, 2004), 96
[3] Y.A. Sarira, Rambu Solo’ dan Persepsi Orang Kristen tentang Rambu Solo’ (Tana Toraja: Pusbang Gereja Toraja, 1996), 105
[4] Ibid, 63.
[5]­­______, Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “elemen”
[6] Y Pabebang, wawancara oleh penulis, Sangngalla’, Tana Toraja, 17 Oktober 2017
[7] Ibid.
[8] Ibid,
[9] ­­­______Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “Nilai”
[11]Agustinus, Pengaruh nilai-nilai tradisi leluhur Rambu Solo’ terhadap Konsep kematian yang dimiliki umat Kristen Gereja Kibaid di Toraja (Disertasi STT baptis Indonesia, Semarang 2011) 58
[12] Ibid., 59
[13] Aluk, adat, dan kebudayaan Toraja dalam perjumpaannya dengan Injil, Pusbang Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja 1992
[14] Stephen Tong, Apa Yang Kami Percaya?, (Surabaya: Momentum, 2013),  26
[15] Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, (Malang: Gandum Mas, 1993), 2-3
[16] Hendrik Sony Paattang, Materi Perkuliahan Penginjilan, s.v. “Penginjilan”
[17] Stephen Tong, Iman & Agama, (Surabaya: Momentum, 2011), 87.
[18] Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer, (Malang: Literatur SAAT, 2012), 148

Tidak ada komentar: